Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf As Sinkili dikenal sebagai pembawa tarekat Syatariyah ke Indonesia. Ia seorang ulama profilic (produktif) dalam menghasilkan karya intelektual. Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh
saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islan international.
Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih
yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai
salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih.
Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau
menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu
orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia
internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam
jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama
besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan
lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita
bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya. Gurunya
tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak
hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan
dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi
bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Patut disayangkan catatan tentang kehidupannya sangat minim.
Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan sedikit komentar dalam karya-karyanya.
Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Syeikh Kuala lahir di Singkel pada
tahun 1035 H. Nama kampungnya ini kemudian melekat pada dirinya. Nama
aslinya Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu atau Jawi namanya disebut
sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf al Jawi Al Fansuri as Sinkili.
Biografi ulama yang satu ini hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya
sepotong tulisan dalam berbagai kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia
belajar dengan beberapa guru. Tidak secara spesifik menyebutkan tentang
biografinya.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di
Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu
melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik)
yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama,
sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah
Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu
Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan
Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan
merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh
ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja
Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah
suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur
perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal
dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad
Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang
pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu
ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al
Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19
tahun di Mekah
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian
mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan
untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara.
Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera
Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh
ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh
di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara
syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya
kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir
sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah
juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi
dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris
kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman
Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal
dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya
Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil
pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan
tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia
Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu
Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Mursyid SyatariyahSebagai ulama tasawuf, Syeikh
Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir
semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung
padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian
berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya
wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni
bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud
bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali
(penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung
tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham
wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan
bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap
mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang
karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3
kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa
Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui
sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu.
Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan
salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan
fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan
Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al
Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al
Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya
terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin
terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir,
sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan
tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurauf wafat pada tahun 1643 dan
dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hinnga kemudian makamnya dikenal dengan
makam Syeikh Kuala.
Sumber : http://darul-mukminin.blogspot.com/2012/04/syeikh-abdurrauf-as-sinkili-tgk-syiah.html
Sumber : http://darul-mukminin.blogspot.com/2012/04/syeikh-abdurrauf-as-sinkili-tgk-syiah.html